Sunday 20 January 2013

Gambling with Words #2

akhirnya, aku pulang


aku hanya bisa mengingat gelap disaat terang terlalu menyilaukan

yah, kau tahu. terang yang memberikan kau penglihatan untuk jalan, memberikan kau hangat saat dingin, terang yang menjadikan kau saksi kebahagiaan yang sedang berlangsung di dunia sekitarmu. terang yang itu. terang yang sebenarnya menyenangkan. terang yang seharusnya menyenangkan. terang kadang membuatku lupa, membuatku tak lagi mengejangkan otot2 saraf otak penyimpan kenangan, membuatku menghapus kenangan yang lama dan menambahkan dengan yang baru.

membuatku lupa akan ayah dan ibu.

membuatku lupa akan eksistensi sebuah kenyataan. tentang bagaimana temanku saat itu hanya gelap. tentang kamar kecil tak berjendela yang kukunci rapat2 dari dobrakan tangan yang siap memukul, teriakan kata2 kotor, nafas berbau alkohol ayah. dari inbox ibu berisi rayuan pria paruh baya berperut besar yang mengatasnamakan agama untuk merebut istri orang. tentang lolongan anjing kami sewaktu ayah menyiksanya sampai mati. tentang aku di dalam kamar yang kukunci rapat2 dari dobrakan terang. hanya aku dan gelap. aku berada di rumah.

terang tidak memunculkan ayah dan ibu

sesuatu yang aku ingat berikutnya hanya terang. dalam terang aku melihat ayah dan ibu tertawa. di satu sofa. di depan satu televisi. di mulut satu gelas air putih. terang yang menghadirkan lagu2 tentang masa dimana bunga dibuat dari plastik hanya untuk terlihat lebih menarik, masa dimana kuah2 di dalam mangkok diberi formalin hanya untuk bertahan lebih lama dan dijual kembali. masa dimana kenyataan menjadi terlalu tabu. masa dimana saya harus berpura-pura tak mengingat kamar kecil tak berjendela yang terkunci rapat, dobrakan pintu, kata2 kotor, nafas berbau alkohol, inbox berisi rayuan pria paruh baya berperut besar, dan lolongan anjing kesakitan. masa dimana saya harus tertawa. duduk di satu sofa. di depan satu televisi. di mulut satu gelas air putih.

terang membuatku sakit

terang berlalu lama. terlalu lama. terlalu lama sehingga aku bisa dengan cukup jelas melihat butir alkohol yang menggantung di tengah kumis ayah, diantara matanya yang nanar memerah, dan diantara urat2 tangannya yang mengejang siap memukul disaat kopi bikinanku terlalu manis. terlalu lama sehingga aku bisa dengan cukup jelas melihat nama pria paruh baya berperut besar di handphone ibu ketika ia coba menyembunyikannya di balik punnggungnya. terlalu lama sehingga aku bisa dengan cukup jelas mendengar lolongan anjing kesakitan yang lain, yang terpuruk menunggu siksaan lainnya di garasi rumahku. terlalu lama sehingga terang ini menghujamkan kumpulan virus2 yang bermutasi, menyerang dari segala sudut sel2 antibodi dimana mereka mempertahankanku agar tetap tersadar. menyerangku. membuatku sakit.

aku ingin pulang

terang membuatku rindu akan rumahku yang sebenarnya. aku hanya ingin pulang. pulang dimana kenyataan masih diakui. iya. tempat dimana tak ada palsu, tak ada tawa, sofa, televisi, atau gelas. tempat dimana ayah memanggilku pelacur dengan lantang, tempat dimana ibu memakai pakaian dalam terseksinya hanya untuk dilucuti oleh pria paruh baya berperut besar, tempat dimana aku tak memiliki cukup banyak waktu untuk bermain bersama anjingku sebelum dia disiksa hingga mati. tempat dimana hanya ada aku dan gelap, adalah rumahku. terang sudah membuatku sakit. hanya sebilah pisau yang bisa membuatku menyingkirkannya. dimana kepalsuan itu terasa mulai menyerang, aku segera menyingkirkan sakitnya. aku tak tahan lagi. aku harus sembuh. aku hanya ingin pulang. kepalaku terasa pusing, aku menusuknya. perutku terasa mual, aku merobeknya. kakiku terasa kesemutan, aku mencabik2nya. denyut nadiku terasa mati, aku mengirisnya.

untuk pertama kali, setelah bertahun2 lamanya, akhirnya aku melihat gelap. akhirnya aku merasa benar2 berada di rumah.

akhirnya,
aku pulang


Surabaya, 20 Januari
15:41

No comments:

Post a Comment