Tuesday 29 January 2013

Gambling with Words #3

aku dan mimpi


aku hanya satu diantara mereka yg bermimpi. kataku seraya berusaha memperjelas penglihatanku di tengah keringat yg bercucuran. ak tak dapat melihat apa2, ini gelap. terlalu gelap, bahkan untuk ukuran sebuah geometri mimpi. perlahan ak berjalan, ak mencoba berjalan walau ak tahu arah mata angin tak berlaku dalam dimensi ini. ak berjalan dan keringatku terus bercucuran, ak tak tahu kenapa keringatku tak berhenti mengalir disaat badanku tidak merasa panas. dan disini.. gelap. sunyi. aku hanya satu dari mereka yg bermimpi.

ak terbangun di tengah keringat yg terus berlanjut mengucur. di atas sebuah tempat tidur dan ak memegang dada dimana kukira detak jantungku akan terasa bergoncang hebat, tapi ak terus mencari detak dan tak menemukannya. ak di kamar apartemenku. ak satu dari mereka yg terbangun dari mimpi.

listrik mati dan semesta menghitam. keadaan gelap ini sama sekali tak asing. ak mencoba berdiri dari tempat tidurku yg berukuran king size dan melanjutkan perjalananku. yg gelap dan sunyi. dan bunyi tetesan keringatku seakan menuntunku utk mengikuti ketukannya, berjalan ke arah dimana kepastian berada. ak tau ak hanya satu dari mereka yg bermimpi, tapi, ak tak ingin terbangun. tidak selama ak bisa mendengar lebih jelas disini, di mimpi yg sunyi, ak mendengar suara tangis.

tanganku menyentuh dahi, ak terbangun lagi. mimpi yg tak terasa asing. malam tak berjalan dan waktu tak berombak. ak menyentuh selimutku dan merasakan basah. basah, seluruh tempat tidur, seluruh selimutku, basah. gelap dan ak sendiri. ak satu dari mereka yg terbangun dari mimpi dan sendiri.

ak mengenali listrik yg mati dan semesta yg menghitam ini. ak mulai sesak nafas. langkahku yg tadi tertahan sekarang kucepatkan temponya. suara tangis yg masih terngiang. suara tangis yg berasal dari seorang gadis, ak yakin tak lebih tua ataupun muda dariku. seorang gadis dari dimensi mimpiku, menangis terlalu sendu, namun bukan pedih. ak berlari ke sebuah kamar besar dan mewah, dimana tangisan itu terus terdengar.
tak pernah kudengar tangis sebahagia ini.

selimutku yg basah ak genggam erat. seerat ingatanku akan tangisan gadis itu. nafasku tersengal dan tak beraturan. keringatku mulai benar2 tak bisa kukendalikan. ak merasa dingin. sangat dingin dan mendapati AC-ku masih dalam keadaan mati. sangat dingin dan melihat ak masih sendiri di atas tempat tidur ini. ak satu dari mereka yg terbangun dari mimpi dan sendiri dan merasakan dingin yg sangat menusuk.

listrik tetap mati dan ak tetap berlari, mencari kamar, mencari seorang gadis menangis. ak tak ingin berhenti. ak ingin berlari. ke tangisan seorang gadis yg tak lebih tua ataupun muda dariku. tangisan itu terdengar, terdengar, tangisan lolongan yg sendu namun penuh pengharapan. pengharapan akan suatu dunia baru dimana ia bisa merasa menjadi manusia. ak satu dari mereka yg mengerti tentang sebuah pengharapan, sebuah jendela, dan seorang gadis. dia berdiri tepat di hadapan sebuah jendela berukuran besar.

nafasku tersengal, mataku mulai nanar. angin mulai sangat menyukai permukaan tubuh dan wajahku yg penuh dengan aliran air. aliran air yg berasal dari hulu sebuah akar mimpi. ak terbangun dari sebuah mimpi tentang tangisan pengharapan, seorang gadis, dan sebuah jendela berukuran besar. ak tetap sendiri dan ak tetap bermimpi.

ak tak akan berhenti. tidak sebelum ak bisa mendengarkan cerita dari sedu sedan tangisan itu. sekali lagi. gadis itu, menungguku, di suatu kamar, di hadapan sebuah jendela berukuran besar. ak tahu disaat ak menemukannya ak akan tetap terdiam menatapnya, mendengarkan cerita hidupnya yg terdengar dari nada2 naik turun tangisnya yg penuh dengan pengharapan akan sebuah dunia baru, yg sarat akan sebuah perpisahan. ak tahu disaat menemukannya ak akan mengerti. dia tetap berdiri tegap di hadapan sebuah jendela berukuran besar. dia menoleh ke arahku. sejenak dan tersenyum. terlalu angkuh untuk mengatakan bahwa dia kesepian.

paru2ku semakin terhimpit oleh udara dingin yg semakin menyebar ke saluran dalam urat nadiku. ak tak lagi bisa merasakan apapun selain dingin dan basah. ak dan fana membuatku mati rasa. semua ini membuatku mati rasa. air mata perlahan keluar dari kedua mataku. ak menangis dan berteriak tertahan. ak menangis bukan karena ak sedih. ak menangis karena ak tahu ini saatnya. saat yg tepat untuk terbangun di atas kasur yg basah. saat yg tepat untuk menjadi satu dari mereka yg terbangun tengah malam dan berharap untuk segera meninggalkan ketidakpastian menuju sebuah pengharapan. saat yg tepat untuk terbangun tengah malam dan mensyukuri sebuah kesendirian. saat yg tepat untuk ingin merasa kembali terlahir menjadi manusia, yg bisa lagi merasa. tanpa lembaran uang yg tak bisa membeli seorang pembunuh sepi. ak terus menangis dan menangis. ak bahagia di dalam kesedihan tak bernalar. ak tertawa terbahak di dalam penghujung akhir sebuah perjalanan penuh penghianatan. ak menangis bahagia,
sungguh
sungguh bahagia.

ini waktunya untuk bermimpi.ak mencoba berdiri dari tempat tidurku yg berukuran king size dan melanjutkan perjalananku. yg gelap dan sunyi. dan bunyi tetesan keringatku seakan menuntunku utk mengikuti ketukannya, berjalan ke arah dimana kepastian berada. angin dingin menyeruak ke arahku ketika ak membuka jendela berukuran besar di ruang apartemenku yg berada di lantai 15. dingin yg selama ini kunanti. ak masih terus menangis dan bercerita lewat naik turun nada tangis yg ak lantunkan. cerita tentang dunia yg sangat ingin ak tinggalkan, dunia yg membuatku mati rasa, dunia penuh rumus rupiah dan tempat tidur tak ber-pria. tempatku adalah di sebuah mimpi. ak berdiri dihadapan jendela berukuran besar dan menoleh ke belakang. ak melihat diriku sendiri. berdiri dan mengerti. mengerti walaupun ak terlalu angkuh untuk berkata ak kesepian.
ak siap untuk melompat keluar dan bermimpi.

ak satu dari mereka yg bermimpi dan tak pernah kembali.


Surabaya, 30 Januari 2013
2:00

No comments:

Post a Comment